Kamis, 07 April 2011

Al-Istikhlaf


Drs. H.Mahfudz Siddiq, M.Si
Setelah membicarakan sifat Islamyang inklusif, sekarang saya ingin mengajak Anda mengelaborasi satu konseppenting lainnya, yaitu al-istikhlaf. Ini berkaitan erat dengan posisi dasaryang Allah letakkan pada manusia dalam eksistensinya di kehidupan dunia. Yaitumenjadi khalifatullah fil-ardh.

Posisi khalifah adalah takdir kepemimpinan yang Allah berikan kepada manusiauntuk mengelola kehidupan di muka bumi ini sesuai dengan ajaran Allah SWT.Untuk itu, Allah meletakkan berbagai potensi dan kemampuan yang dibutuhkansetiap manusia untuk mampu menjalankan kepemimpinannya. Ini yang disebut konsepAt-Taskhir, yang akan saya bicarakan kemudian.

Banyak pihak memahami posisi khalifah sebagai kepemimpinan politik, dalam suatubangunan negara misalnya. Pemahaman ini tidak salah, namun tidak utuh. Padadasarnya posisi kepemimpinan ini melekat pada diri manusia dalam dimensi ruang,waktu dan keadaan apa saja. Posisi dan peran ini bisa dijalankan manusia atasdirinya sendiri, dalam ruang keluarga, masyarakat dan tentu juga negara.

Memang harus diakui, wacana paling dominan adalah posisi khalifah dalam ruangnegara. Dan inilah wacana yang sering memunculkan perdebatan di kalangan umatIslam serta memunculkan kecemasan di kalangan luar umat Islam. Bahkanseringkali tanpa sadar sifat inklusivitas Islam jadi dipertentangkan dengankonsep kekhalifahan.

Saudaraku, tahukah kita kapan seseorang itu bisa menjadi pemimpin dan penguasa(politik)? Yaitu ketika seseorang (atau sekelompok orang) mampu memenangkan ruangkompetisi yang disediakan oleh setiap mekanisme yang disepakati. Dalam hukummanusia, seseorang yang mampu mengendalikan sumberdaya secara maksimal, maka iapaling berpeluang memenangkan kompetisi kepemimpinan. Meski hukum Allahseringkali menunjukkan hal yang berbeda. Allah dengan kekuasaan-Nya yang tanpabatas, bisa menjatuhkan atau mendudukkan kepemimpinan seseorang dengan cara-Nyasendiri. Hukum Allah yang pasti adalah akan menjaga dan meneguhkan kepemimpinanseseorang (sekelompok orang) yang sejalan dengan ajaran-Nya.
Islam sesungguhnya tidak mempersoalkan bentuk mekanisme kompetisinya, namunlebih menekankan pada sifat-sifat kompetisi tersebut. Seorang pemimpin bisasaja hadir melalui mekanisme pemilihan langsung, pemilihan tidak langsung ataubahkan pengangkatan. Tetapi Islam menegaskan tentang syarat-syarat seseorangmenjadi pemimpin, nilai-nilai syura dalam rekrutmen kepemimpinan, dansikap-perilaku menjalankan kepemimpinan.

Saya ingin mengoreksi satu pemahaman salah tentang konsep khalifah. Adasementara kalangan dari umat Islam yang meyakini bahwa konsep kekhalifahan barubisa dijalankan dan ditegakkan ketika kehidupan ini sudah ada dalam bingkaisistem Islam. Sehingga yang terjadi kemudian, mereka akan menjauhkan diri dariruang kompetisi kepemimpinan jika itu berlangsung dalam suatu ruang (negara)yang belum berada dalam bingkai sistem Islam. Akibatnya, muncullah sikapmengharamkan demokrasi, pemilu dan juga pilkada. Memang kalangan ini memilikidasar hujjah-nya sendiri. Namun dampak yang pasti adalah ruang-ruang kompetisikepemimpinan di mana ummat berposisi sebagai obyek kepemimpinan dan kekuasaan,tidak lagi diisi oleh orang-orang yang lebih berhak menjalankan posisi danperan kekhalifahan.

Dalam konteks persoalan inilah saya ingin mengajak Anda bicara tentangIstikhlaf. Pengertian Istikhlafadalah proses menuju eksisnyakepemimpinan yang diinginkan oleh Allah dan Islam. Proses yang dimaksudtentu saja dalam arti luas. Bukan saja pada mekanisme yang dijalankan, tetapijuga pada kondisi prosesual yang dinamis, yang bisa saja dipersepsi belumsepenuhnya sesuai dengan konsep nilai-nilai Islam. Artinya, keterlibatanseorang muslim (kelompok umat) dalam kompetisi kepemimpinan dalam ruang yangbelum sepenuhnya selaras dengan nilai Islam adalah bagian dari upaya untukmewujudkan ruang kehidupan yang Islami. Menjauhkannya berarti memperlambatupaya tersebut.

Saya ingin mengajak Anda menyimak firman Allah berikut ini:
”Apakahmereka tidak memperhatikan berapa banyaknya penguasa-penguasa yang telah Kamibinasakan sebelum mereka, padahal telah Kami teguhkan kekuasaan mereka di mukabumi, yaitu kekuasaan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. Dan Kamicurahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalirdi bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, danKami ciptakan sesudah mereka penguasa yang lain..” (Al-An’aam: 6).
Ayat ini menjelaskan suatu kondisidi mana muncul satu ruang kehidupan yang para penguasanya menjauhkan diri darinilai-nilai kebenaran, dan mengisinya dengan beragam kejahatan. Lalu sesuaihukum kekuasaan Allah, para penguasa itu dijatuhkan untuk kemudian Allahberikan ruang kompetisi bagi munculnya penguasa-penguasa baru. Pada ayat iniAllah tidak memastikan sosok penguasa baru yang muncul. Pesan penting ayat iniadalah sirkulasi kepemimpinan dan kekuasaan itu pasti akan terjadi. Ruangkompetisi akan memunculkan sosok kepemimpinan baru dari mereka-mereka yangterlibat langsung dalam proses tersebut. Inilah makna istikhlaf, proses menuju kepemimpinandan kekuasaan.

Saudaraku, selama 63 tahun menjadi negara merdeka, di negeri ini telahberlangsung dari pemilu ke pemilu, dari pilakada ke pilkada, sampai daripilkades ke pilkades. Ini adalah mekanisme kompetisi ruang kepemimpinan yangtersedia, meski nilai dan prosedurnya terus dinamis mengalami berbagaiperubahan ke arah perbaikan. Pertanyaan pentingnya, sudahkah kompetisi inimemunculkan sosok pemimpin yang berjatidiri khalifatullah fil-ardh? Atausudahkah ummat ini benar-benar terlibat (sebagai suatu entitas politik) dalamproses kompetisi ini?
Jawaban atas pertanyaan ini memang tidak mudah, bahkan kompleks. Namun ada satuguidance yang Allah letakkan atas kita. Bahkan ini merupakan janji Allah ataskita. Mari perhatikan firman Allah berikut ini:
”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akanmenjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikanorang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagimereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akanmengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi amansentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapundengan Aku..” (An-Nuur: 55).
Ayat di atas membimbing kita akan beberapa hal mendasar.

Pertama, sirkulasi kepemimpinan dan kekuasaan adalah bagian dariproyek Allah untuk meneguhkan posisi manusia sebagai khalifatullah fil-ardh.Allah terlibat dalam setiap prosesnya, baik itu mencabut kekuasaan ataumeneguhkan kekuasaan manusia.

Kedua, maka seorang muslim harus terlibat sepenuhnya dalam proseskompetisi kepemimpinan dan kekuasaan, agar peluang itu tidak jatuh ke tanganorang-orang yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan.

Ketiga, secara tegas Allah menetapkan syarat utama calon pemimpinadalah integritas (iman) dan kapabilitas (amal shaleh).

Keempat, bahwa kepemimpinan adalah salah satu pilar mewujudkansistem kehidupan yang benar dan baik.

Kelima, kepemimpinan dan sistem kehidupan yang benar dan baik akanmampu mewujudkan perubahan kondisi kehidupan yang diinginkan manusia (secarakeseluruhan). Karena kebaikan Islam itu akan mendatangkan manfaat bagi seluruhmanusia dan alam semesta.

Terakhir, tujuan akhir kepemimpinan dan kekuasaan adalah menjagaspirit Tauhid, sehingga manusia bisa menghadap Al-Khaliq dengan selamat di harikemudian kelak.

Nah saudaraku, jika demikian halnya, bagaimana mungkin kita bisa segeramenikmati kehidupan yang digambarkan sebagai hayatun-thayyibah atau baldatunthayyibatun wa rabbun ghafuur, jika masih ada di antara ummat ini yang terusberdebat atau menolak terlibat dalam proses istikhlaf?

0 komentar:

Posting Komentar